simple hit counter
HeadlineSehat

Amankah MPASI Fortifikasi untuk Bayi?

×

Amankah MPASI Fortifikasi untuk Bayi?

Sebarkan artikel ini
IMG 20230926 WA0015 - Amankah MPASI Fortifikasi untuk Bayi?
Amankah MPASI Fortifikasi untuk Bayi?. Foto: Pixabay

PORTALSURABAYA.COM – Dalam berbagai forum, banyak ibu di Indonesia yang mempertanyakan apakah MPASI fortifikasi aman untuk bayi. Pertanyaan ini timbul karena MPASI fortifikasi termasuk makanan pabrikan dan ada persepsi bahwa makanan pabrikan tidak baik untuk bayi.

Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc, Akademisi dan Ahli di Bidang Teknologi Pangan mengatakan, sebelum membahas tentang MPASI fortifikasi, sebaiknya dipahami dulu apa itu makanan pabrikan dan bagaimana pembuatannya. Makanan pabrikan adalah hasil pengolahan makanan di pabrik yang mencakup pemasakan (biasanya perebusan atau pengukusan) dan pengeringan.

Pemasakan, yang umum dilakukan baik di rumah atau dalam industri, bertujuan memastikan makanan matang, aman, dan mudah dicerna, misalnya daging yang tidak boleh dimakan secara mentah. Apalagi jika makanan tersebut diperuntukkan untuk bayi yang masih rentan mengalami gangguan kesehatan.

Makanan untuk bayi tentu saja harus diproses atau dimasak (misalnya direbus atau dikukus lalu dilunakkan) agar sesuai dan aman dikonsumsi bayi dan memberikan nutrisi yang diperlukan agar bayi dapat tumbuh dan berkembang optimal.

Setelah proses pemasakan, dalam pembuatan makanan pabrikan, dilakukan proses pengeringan.

”Tujuan pengeringan adalah untuk mengeluarkan air dari makanan sehingga menjadi tahan lama atau awet disimpan tanpa mengalami kerusakan atau pembusukan dan kandungan nutrisinya dapat dipertahankan,” kata Sugiyono.

Tak hanya dalam bidang industri, proses pengeringan makanan juga umum dilakukan masyarakat dalam keseharian agar makanan menjadi awet. Sebagai contoh, roti tawar dikeringkan menjadi roti kering, ataupun daging dikeringkan menjadi dendeng.

Jadi, makanan pabrikan itu cepat penyajiannya karena sudah dimasak sebelumnya, dan awet karena telah dikeringkan. Dengan demikian, makanan pabrikan tidak perlu mengandung bahan pengawet karena bentuknya sudah kering sehingga awet dengan sendirinya.

Yang sering hilang di konteks perbincangan mengenai makanan pabrikan adalah tujuannya yang positif, yaitu untuk memberikan kesetaraan akses terhadap gizi di Indonesia. Pembuatan makanan pabrikan yang awet tentu memungkinkan distribusi makanan sampai ke daerah-daerah terpencil dan jauh.

Hal ini sangat menguntungkan di negeri kepulauan seperti Indonesia, di mana pengiriman makanan memerlukan waktu relatif lama. Dengan adanya makanan pabrikan yang awet, masyarakat di daerah terpencil tetap bisa mendapatkan akses makanan yang berkualitas.

”Pendapat negatif lain mengenai pemrosesan yang ‘menghilangkan gizi’ pada MPASI fortifikasi juga ingin saya luruskan disini. Tidak dipungkiri bahwa proses pengolahan, termasuk saat kita mengolahnya di rumah seperti memasak, dapat merusak sebagian vitamin yang ada pada makanan,” jelasnya.

Pada makanan fortifikasi, sebagian zat gizi yang rusak atau hilang karena proses pengolahan, dapat diatasi dengan menambahkan vitamin dan mineral pada makanan yang telah diolah, hal inilah yang membedakan fortifikasi dengan makanan yang diolah di rumah.

Proses penambahan vitamin dan mineral ini justru bisa memberi tambahan nutrisi yang sangat sulit dipenuhi tiap harinya, misalnya zat besi dan zat gizi mikro lainnya untuk memenuhi kebutuhan bayi.

Penting diketahui ibu bahwa MPASI fortifikasi dikontrol sangat ketat oleh BPOM: mulai dari bahan baku, proses produksi, kandungan zat gizi, serta keamanannya. Untuk produk MPASI fortifikasi, BPOM menerapkan standar yang sangat ketat mengingat pentingnya keamanan makanan bayi dan nilai gizinya.

BPOM tidak mengizinkan MPASI fortifikasi mengandung pengawet, pewarna atau perisa serta tidak boleh memiliki kandungan gula dan garam yang tinggi. MPASI fortifikasi yang telah diizinkan beredar di Indonesia oleh BPOM berarti juga telah lolos tahap pen pengontrolan kualitas sesuai kriteria Codex Alimentarius, sebuah lembaga independen yang membuat standar makanan berbasis sains yang ditetapkan secara kolektif oleh berbagai negara untuk melindungi kesehatan konsumen yang dibentuk oleh FAO/WHO.

Sementara itu, Dr. Mas Nugroho Ardi Santoso, SpA, MKes, dokter spesialis anak, menyoroti pentingnya meningkatkan literasi gizi melalui isu ini.

”Karena itu, saya ingin memulai dengan membahas pengetahuan dasarnya dulu, yaitu peran gizi dalam 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK),” jelasnya.

1000 HPK adalah fase terpenting dalam membentuk dan membangun kualitas gizi anak. Kualitas pada 1000 HPK sangat menentukan keberlangsungan kehidupan anak di masa depan – misalnya seluruh organ penting dan sistem tubuh mulai terbentuk dengan pesat.

Perkembangan yang dimulai adalah kesehatan saluran cerna, perkembangan organ metabolik, perkembangan kognitif, pertumbuhan fisik, dan kematangan sistem imun. Karena itu selain memperhatikan nutrisi seimbang saat hamil, kemudian memastikan asupan gizi melalui ASI selama 6 bulan, ibu juga harus memperhatikan asupan nutrisi pada fase MPASI saat usia anak di atas 6 bulan.

Pada usia tersebut, anak sudah semakin membutuhkan nutrisi yang kompleks dan tidak cukup hanya diberikan melalui ASI. Anak sudah sangat perlu diberikan dukungan asupan lain melalui makanan pendamping ASI (MPASI).

MPASI yang mendukung tumbuh kembang optimal adalah yang diberikan tepat waktu, cukup kalori, protein, lemak, vitamin, mineral, higienis dan responsif diberikan setelah bayi berusia 6 bulan dan ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun.

”Selain mengetahui teorinya, sebenarnya ada masalah lain yang lebih nyata yang dihadapi para ibu, yaitu bagaimana ibu bisa memastikan kualitas nutrisi makanan,” tuturnya.

Sebagai gambaran, bayi berusia 6 bulan ke atas membutuhkan asupan zat besi sebanyak 11 mg/hari. ASI hanya menyediakan sekitar 3 persen dari 11 mg zat besi, sehingga sisanya perlu diperoleh dari MPASI.

Makanan kaya zat besi seperti daging sapi, hati sapi atau ayam, dan ikan harus dikonsumsi dalam jumlah sekitar 400g untuk memenuhi kebutuhan zat besi harian. Tentunya itu tidak mungkin dengan kapasitas lambung bayi yang terbatas.

Di sinilah MPASI fortifikasi sangat bisa digunakan sebagai alternatif nutrisi pendukung tumbuh kembang oleh karena kelebihannya, yaitu sudah ditambahkan vitamin dan mineral sesuai kebutuhan harian. Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bayi berusia 6-24 bulan yang mengkonsumsi MPASI fortifikasi mencatat kadar hemoglobin, zat besi, dan ferritin (pengikat zat besi) yang lebih tinggi dibanding dengan bayi yang mengkonsumsi MPASI homemade.

Ardi meminta para ibu juga bijak dalam menyikapi nutrisi MPASI. Jika bisa memastikan kualitas nutrisi seimbang sesuai kebutuhan anak, silahkan dibuat makanan olahan di rumah. Tetapi tidak juga harus dipaksakan atau idealis untuk anti terhadap nutrisi fortifikasi, padahal disaat yang sama nutrisi anak justru tidak tercukupi karena makanan olahannya tidak berkualitas.

”Di samping itu juga para ibu disarankan untuk terus menambah wawasan terkait tumbuh kembang dari sumber-sumber yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga lebih bijak dalam mengambil keputusan,” pungkasnya.***

Cek Berita dan Artikel yang lain di GoogleNews PUB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *